DIATAS KUBURAN

Menghampar kesunyian yang senyap di antara deretan kubur-kubur tua. Berserakan, seperti harmoni merdu bersimfoni syahdu onggokan tanah merah yang telah dibatasi oleh dinding-dinding pendek tak beratap. Bisik-bisik barzah terdengar meringis mengiris menyeruak keluar melalui nisan-nisan kokoh yang berukirkan nama-nama, tetapi diam tanpa kata dan ujar. Kebodohan terungkap, kesombongan terhapus, oleh jasad-jasad kaku di dalam kubur, makanan rayap.cacing, dan ulat tanah.Mana si bangsawan yang selalu bangga dengan darah birunya? Diam tak menyahut karena mulut terkunci rapat oleh sempalan tanah asal -muasal bermula. masih adakah rasa bangga yang tersisa, harta, tahta, jabatan, dan kekuasaan? Sepi, karena tubuh kaku kelu terhimpit tanah sempit dalam kapan lapuk membusuk dibalut debu-debu kusut. Masih adakah gelak tawa, kepongahan, senyum sinis, di atas derita orang lain, dalam kesengsaraan orang-orang lemah? Sunyi, karena diri telah hina serendah-rendahnya, membujur di bawah tumpukan semak belukar yang semakin mengakar dalam. Atau… masih adakah baju kebesaran yang tersisa? Tetap hening, karena tubuh sudah tanpa kulit, hanya menyisakan rongsokan belulang yang berserak dalam timbunan tanah lusuh.

Sementara, di atas tanah pekuburan ini kami berdiri membisu diserbu pesan-pesan ilahi: KEMATIAN ADALAH ABADI!

Kami, para penggali kubur telah selesai menggali tanah. Tepatnya sepetak lubang yang kelak akan menjadi istana megah atau semacam ruang penyiksaan bagi siapa saja yang menempatinya. Onggokan tanah merah basah selalu hadir ketika kami diberi tugas menggali kuburan. Kami, para penggali kubur akan selalu siap menggali tanah kapan pun. Siang malam tidak terlalu penting bagi kami, jelasnya, jika ada orang menionggal dunia di situlah kami bertugas. Di situlah kami hadir menggali.

” Kerap sekali, kematian pada bulan ini ya, kang?” Ujar Sukri. Ia memicingkan matanya. ” Tiga orang dalam seminggu..!” Lanjutnya lagi.

Para penggali kubur lainnya, Jahe, Cingok, dan Cemong seperti kurang tertarik dengan ucapan Sukri. Mereka lebih asyik memangkas rumputan liar dan ilalang yang telah meninggi di aats beberapa kuburan. Hanya aku yang sedikit menanggapi ucapannya. Tapi… akhirnya kuurangkan juga untuk menanggapinya. Karena bagi setiap orang,kematian adalah suatu keniscayaan bukan kehinaan. Jarang atau tidaknya yang meninggal, itu bukan urusan manusia, itu urusan Yang Maha Kuasa. Ya, kematian dalam kondisi apa pun adalah sebuah penantian terakhir. Lagipula, bukankah mayat-mayat dalam kuburan ini telah terbebas dari kekang duniawi!?

” Jomblang, Bu Sum, Si Gondo, Si Muksin, dan sekarang si Boang!” Sukri bersikeras untuk membahasnya. Kemudian, dia terlihat merenung, menyempitkan keningnya. Bintik-bintik tanah merah meramaikan wajah legamnya. ” Besok atau lusa entah siapa lagi!?” Katanya, sambil memandang kami satu persatu. Pandangannya serasa menuding kepadaku. ” Semua orang takut dihampiri oleh malaikat maut!”

” Tidak semua orang, Kri!”

” Buktinya, tak ada orang yang mencintai kematian!”

Kami tidak berkata-kata lagi karena para pengusung keranda bersama para pengantar jenazah telah tiba. Hari menjelang sore, matahari masih menyisakan semburat panasnya, menyinari dedaunan flamboyan sampai terlukis lempengan kuning keemasan. Kami berdiri menyambut mereka. Para pengantar jenazah itu terisak pilu, menangis dan merintih sendu. Keranda dengan tutup kain berwarna hijau yerlihat bergerak ke atas ke bawah ibarat sebuah mobil yang berjalan di atas hamparan bebatuan. Debu menyeruah ternjak kaki yang berderap melangkah beraroma kepedihan dan kesedihan yang menyayat rasa.

” bagaimana, sudah siap belum, Kang!?” Tanya Kyai Syarqowi kepada kami.

Aku mengangguk.

Kemudian kami menguburkan mayat si Boang. Hingga prosesi pemakaman berjalan lancar. Lalu para pengantar jenazah pun bergegas pulang secara teratur. Mereka meninggalkan jejaklangkah hitungan mundur yang suatu waktu akan mereka ambil kembali. Kami menatap iring-iringan itu, dalam benak kami berbisik, ” kelak mereka akan mendatangi tanah pekuburan ini lagi, suatu saat nanti!” Namun mereka tidak menyadarinya.

Ketika para pengantar jenazah telah meninggalkan tanah pekuburan, kami masih duduk berkumpul melingkar di pinggir onggokan tanah merah kuburan baru. Kami menunggu sesuatu.

Di atas tanah kuburan baru, pohon falamboyan dengan dedaunan bintik kuning dan percikan hijau pinggirnya memberi kesan keabadian. Dua ekor kupu-kupu hinggap didedaunan. Selalu kami temui dua ekor kupu-kupu itu setiap kami selesai mengubur jenazah. Mereka, entah pasangan suami istri atau apalah! Sayapnya terlihat semakin melesu dari hari ke hari, namun kami tidak mau mengganggu mereka, melemparnya juga sangat segan. Mungkin mereka datang dari surga?

Kemudian, segerombol kawanan burung gagak terbang mengelilingi tanah pekuburan sambil berkoak-koak. Mereka semakin bergerombol di atas kepala kami membentuk atap hitam hingga tercipta payung kelam. Beberapa dari mereka mengerlingkan pandangannya ke arah kami. Kami tidak tahu persis dari mana mereka datang.

Mereka mendarat serempak, menyelimuti hamparan rumputan pekuburan. Bulu-bulu mereka lebih pekat jika dibandingkan dengan rambut kami yang selalu terbakar matahari. Kerlingan mata mereka setajam belati yang menusuk sanubari. Sampai kedua kupu-kupu yang hinggap di daun flamboyan itu tidak kami ketahui ke mana perginya.

Burung-burung gagak tidak bisa berbicara, kami juga bukan nabi Sulaeman yang mampu menerjemahkan bahasa binatang. Tapi… mengapa kami ingin menjadi burung-burung gagak itu? Dan kami pun memahami, mereka juga ingin menjadi kami, para penggali kubur. Kesepahama melahirkan kesepakatan. Kami sepakat untuk bertukar tubuh, kami melepaskan pakaian dan tubuh kami, mereka pun keluar dari tubuhnya, kami pun bertukar tubuh sempurna. Mereka telah menjadi para penggali kubur, ketika kami telah menjadi burung gagak.

” Apa benar dengan menjadi burung gagak kita menjadi merdeka?”

” Setidaknya, kita bisa terbang!”

” Hmm..!”

Penciuman kami menjadi sangat tajam.

” Mari kita terbang!”

” Siapa takut?!”

Kami melompat bersama, mengepakkan sayap kemudian kami pun terbang meninggi. Mengitar berkeliling di atas tanah pekuburan, di atas kepala para gagak yang telah menjadi para penggali kubur yang diam memmbisu, namun mereka menatap kami dengan puas. Kami terbang semakin jauh meninggi, menembus mega, menerobos awan, menyisir celah langit, menerjang angkasa, menukit berkelit, sambil bernyanyi, koak…koak!

###Begitulah. Setelah menjadi burung gagak, kami selalu terbang berkeliling dari teras bangsa ke serambi negeri, melihat panorama keindahan alam, merambah hutan luas, mengelilingi zamrud oermadani tanah air, melihat permata nusantara. Bukankah kami tampak merdeka ,kawan?

Nyatanya tidak demikian! Aroma kematian selalu hadir menebar. bahkanselalu menguntit dan mengancam jiwa kami. Setiap kami mendarat di mana saja selalu terusi. mendarat di jalanan kami takut tergilas ban kendaraan. Mendarat di perkotaan, kami diincar senapan, mendarat di padang golf kami selalu dikejar-kejar. Bahkan untuk mendarat di hutan pun ,kami harus menghadapi kebinalan para pemburu liar dan penebang hutan.

Hingga, dalam pandangan kami hanya ada satu tempat yang cukup aman untuk mendarat dan beristirahat, yaitu tanah pekuburan. Sekian lama kami menembus waktu menjelajah ruang sekian puluh tanah p[ekuburan kami jumpai. Sekian ratus rintihan barzah kami dengar. Melihat orang-orang menoinggal tertabrak, tertembak, dibakar, dicekik, bahkan minum racun pun ada.

Akhirnya kami tiba di Meulaboh. Tanah pekuburan luas terhampar. Ketika kami hinggap di atasnya. Air mata kami menitik melihat gelimpangan mayat tertubruk air, karena hanyut oleh tusnami. Orang-orang di luar Meulaboih berteriak-teriak ketika kami mendengar nyanyi merdu berpuluh-bahkan beratus anak kecil di surga. Kami merasa heran mengapa kami menangis dan orang-orang di luar Meulaboh itu menangis ketika orang-orang menari bahagia di surga sana!

DITULIS KETIKA TSUNAMI MENGGERIAPKAN BULU KUDUKKU!


0 Responses